JAKARTA - Setahun pemerintahan Jokowi-JK, Badan Cyber Nasional (BCN) masih belum terbentuk. Walau begitu usaha pemerintah untuk mempercepat terbentuknya BCN juga harus diapresiasi. Bahkan BCN menjadi salah satu agenda utama Presiden Jokowi dalam lawatan ke Amerika Serikat yang akan dilakukan pada 25 Oktober mendatang.
Dalam lawatan tersebut, pemerintah ingin melihat sejauh mana fungsi lembaga serupa di Amerika (AS). Isu tentang penyadapan yang akan dilakukan BCN terhadap seluruh komponen masyarakat lewat BCN sudah ditepis Menkopolhukam Luhut Panjaitan.
Tidak ada yang salah dengan “belajar” dari AS untuk membentuk BCN yang kuat, namun pemerintah hendaknya bisa membatasi nantinya sejauh mana keterlibatan pihak luar dalam pembentukan BCN. Lewat bocoran Wikileaks kita tahu bagaimana usaha AS beserta sekutunya dalam membangun jaringan informasi dengan menyadap beberapa negara dengan posisi strategis, termasuk Indonesia.
Mengetahui tantangan ini pemerintah perlu membentengi diri sedini mungkin agar BCN nantinya tidak menjadi proxy bagi AS dan sekutunya, terutama dalam pengumpulan informasi yang sangat strategis dan rahasia. Pemerintah bisa belajar dari negara lain yang lebih dahulu membentuk lembaga semacam BCN, antara lain India.
Selain BCN, dalam setahun pemerintahan Jokowi-JK berita yang paling disorot oleh netizen adalah jebolnya situs milik Kementrian PMK, revolusi mental.go.id. Peristiwa ini menyedot perhatian lebih karena setelah dilakukan audit ternyata situs milik kementrian ini hanya menggunakan server bersama situs umum lainnya. Dari segi keamanan jelas sangat rawan, bahkan sampai saat ini situs tersebut masih belum bisa dibuka.
Peristiwa ini membuktikan satu hal bahwa kesadaran keamanan cyber di lingkungan pemerintah masih perlu ditingkatkan. Pemerintah perlu serius menggalakkan kesadaran keamanan cyber di seluruh elemen masyarakat, terutama para pengambil kebijakan.
Kebijakan dan regulasi yang minus kewaspadaan dini terhadap keamanan cyber memang menjadi sasaran empuk para pelaku kejahatan cyber. Bahkan Dirjen Imigrasi mencatat ada 300 lebih tindak kejahatan cyber yang dilakukan oleh warg anegara asing di Indonesia sampai bulan Agustus 2015. Wilayah kita dijadikan sebagai markas karena dirasa pengamanan dan pengawasan wilayah cyber masih sangat lemah.
Semakin dekatnya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) seharusnya membuat pemerintah ekstra waspada, agar Indonesia tidak dijadikan bulan-bulanan warga asing yang tinggal di sini. Namun sekali lagi ini semua terkait regulasi dan infrastruktur yang mendukung terciptanya sistem yang “ramah” pada keamanan cyber.
Pemerintah memang perlu membuat sebuah regulasi khusus yang mendorong setiap peraturan perundang-undangan dan turunannya pro pada perwujudan keamanan cyber yang kuat. Salah satu yang sampai saat ini masih di sorot adalah Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Mengacu pada data Security Threat pada 2013 bahwa Indonesia menjadi negara yang paling rawan mendapat serangan cyber. Bahkan pada 2015 Indonesia masih masuk dalam lima negara asals erangan cyber paling banyak di dunia.
Namun sampai saat ini UU ITE masih sangat sempit jangkauannya. Sebatas mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di internet. Alhasil UU ITE lebih dikenal karena “mampu” menjebloskan netizen ke penjara. Menanggapi hal ini Menkominfo Rudiantara mengusulkan revisi ancaman pidana menjadi 4 tahun. Artinya netizen yang dijadikan tersangka tidak bisa langsung dijebloskan ke penjara, karena tuntutan maksimalnya di bawah 5 tahun.
Tentu kita berharap UU ITE pada 2016 mendatang mengalami revisi yang lebih komprehensif. Terutama masuk dalam wilayah keamanan dan industri cyber. Keduanya adalah hal yang saling berkaitan.
Berkaitan karena dalam keamanan cyber, negara asal produsen memegang peran lewat regulasinya yang tertulis maupun tidak tertulis. Bila ada masalah dengan alat yang diimpor, maka pemerintah mau tidak mau harus mengikuti aturan main di negara asal produsen.
Dengan regulasi yang ketat, kita bisa memaksa para penyedia layanan internet seperti Facebok dan kawan-kawannya untuk membuka cabang di dalam negeri. Secara otomatis mereka harus taat pada aturan main di Indonesia. Selain itu, mereka berkewajiban membayar pajak karena mengambil Indonesia sebagai pasar.
Harapan kita bersama setahun kedepan pemerintah bisa menelurkan regulasi terkait keamanan cyber yang bisa memberi keamanan, kenyamanan dan kepastian pada seluruh pelaku bisnis, masyarakat dan juga pemerintah sendiri.